Assalamu'alaikum.
Pada surat an-nur ayat 30-31,kita diperintahkan untuk menahan pandangan terhadap lawan jenis yg ghoiru mahram (bukan mahram) dan hal tersebut termasuk maksiat 'ain(mata), yang mau saya tanyakan:
1. Bagaimana mengimplementasikan perintah tersebut secara setiap kali kita berinteraksi,kita tak lepas dengan yg namanya"lawan jenis"?
2. Apakah ayat tersebut bersifat mujmal(global/tanpa terkecuali) atau ada istitsna'(pengecualian yg sifatnya membolehkan)?
3. Sekolahan2 dinegri ini antara siswa dan siswinya campur dalam 1 ruang kelas, yg secara otomatis tk lepas dari saling pandang. Gmn islam dalam menanggapi hal tersebut?adakah qoul yg membolehkan?
Syukron min qoblihi.
Jawaban
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Terkait dengan menundukkan pandangan, ayat ke 30 surat an-Nur menyuruh kita untuk menundukkan sebagian pandangan; bukan menundukkan seluruh pandangan. Hal ini berbeda dengan ketika berbicara tentang kemaluan yang disuruh untuk dijaga seluruhnya tanpa ada toleransi untuk bagian tertentu.
Dari sini dapat dipahami bahwa Allah memberikan toleransi untuk sebagian pandangan. Yakni Allah membolehkan pandangan yang tidak menimbulkan fitnah. Yakni jika melihat lawan jenis tidak mengarahkan pandangannya ke bagian tubuh yang sensitif serta tidak menatapnya dengan tajam secara terus-menerus yang hal itu bisa menimbulkan fitnah. Nabi menjadikan pandangan yang rakus dan bernafsu kepada lawan jenis sebagai zina mata.
Selanjutnya, terkait dengan masalah ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan wanita), memang Islam pada dasarnya memberi batasan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak boleh. Karena ihktilath itu sendiri antara satu kondisi dengan kondisi yang lain bisa berbeda, tergantung situasi dan keandaannya.
Di masa Rasulullah SAW, para shahabat sebenarnya bukan sama sekali tidak bercampur dengan para wanita. Buktinya dalam banyak hadits kita temukan mereka bisa berdialog, bertanya jawab dan melakukan aktifitas sosial lainnya dengan lawan jenis.
Bahkan sebelumnya belum ada pemisahan antara wanita dan laki-laki dalam masalah pintu masjid nabawi. Barulah kondisinya lebih sesak dan mulai terasa berjejal, ada usulan untuk mengkhususkan satu pintu untuk wanita hingga hari ini.
Dalam kondisi tertentu, kita juga tidak bisa menafikan adanya kebutuhan obyektif baik dalam skala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain adanya pertemuan antara laki-laki dan wanita.
Karena itu, dalam hal-hal tertentu yang disebut ikhtilath masih bisa ditolerir asal memenuhi beberapa persyaratan pokok, antara lain:
A. Para wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan
Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka
(QS Al Ahzaab 27).
B. Para wanita tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan
Allah berfirman:
”Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama
” (QS Al Ahzaab 33).
C. Wanita hendaknya tidak melunakkan, memerdukan atau mendesahkan suara
Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik
” (QS Al Ahzaab 32).
D. Menjaga pandangan diantara kedua belah pihak. "Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya
........"(QS An Nuur 30-31)
Kesemua ini mengarah kepada satu hal yaitu aman dari fitnah. Tapi bila dirasakan fitnah itu akan terjadi, maka para ulama pun sepakat untuk menghindari ikhtilath tersebut.
Wallahu A’lam Bish-Showab, Wassalamu Alaikum Wr.wb