Ini gan Caranya Mengkhitbah Atau Melamar Calon Pasangan Hidup kita secara Islami hehehe cekidot :
Adab melamar / mengkhitbah calon istri/ suami
“Khitbahlah Wanita yang Engkau Kagumi“.
Sekilas judul tersebut mengisyaratkan kepada seorang laki-laki yang
apabila ia mengagumi kepribadian seorang perempuan, dalam hal ini adalah
karena kebaikan agama dan akhlak seorang perempuan, maka dia
diperbolehkan mengkhitbah atau meminang perempuan tersebut.
Bagi para pemuda yang ingin mengkhitbah
wanita yang dicintainya, perlunya diketahui lebih dahulu pengertian
khitbah (melamar / meminang). Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab karya
Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah (Ta’rif
Khitbah), diterangkan pengertian syar’i (al-ma’na asy- yar’i) dari
khitbah sebagai berikut.
التماس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها
“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).
“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).
Secara umum, kegiatan pelamaran ini
dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi
wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap
pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang
terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah
bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma bercerita:
“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.
Jadi, seseorang boleh menawarkan putrinya atau saudara perempuannya untuk dinikahi seorang laki-laki yang shalih.
“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.
Jadi, seseorang boleh menawarkan putrinya atau saudara perempuannya untuk dinikahi seorang laki-laki yang shalih.
Seorang laki-laki boleh hukumnya
mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya.
Boleh juga laki-laki tersebut mengkhitbah perempuan tersebut melalui
wali perempuan itu. Dua-duanya dibolehkan secara syar’i dan dua-duanya
termasuk dalam pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat
dalil-dalil As-Sunnah yang menunjukkan kebolehannya.
Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya, adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :
“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (Arab : lamma maata Abu Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama Haathiba ‘bna Abi Balta’ah yakhthubuniy lahu shallallahu ‘alaihi wa sallama). (HR Muslim).
Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya, adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :
“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (Arab : lamma maata Abu Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama Haathiba ‘bna Abi Balta’ah yakhthubuniy lahu shallallahu ‘alaihi wa sallama). (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut dapat
diketahui bahwa Rasulullah SAW langsung mengkhitbah Ummu Salamah RA,
bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah RA.
Sedang dalil bolehnya laki-laki
mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits riwayat Urwah bin
Az-Zubair RA, dia berkata :
“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (Arab : anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama khathaba ‘A’isyata radhiyallahu ‘anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu ‘anhu) (HR Bukhari).
“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (Arab : anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama khathaba ‘A’isyata radhiyallahu ‘anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu ‘anhu) (HR Bukhari).
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa
Rasulullah SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui walinya, yaitu Abu
Bakar Ash-Shiddiq RA.
Disamping itu, seorang lelaki
diperbolehkan meminang (mengkhitbah) seorang perempuan dengan
mewakilkannya pada orang lain, sebagaimana diperbolehkannya Ia meminang
sendiri perempuan yang Ia cintai.
Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk
menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar
lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk
melamarnya.
Dari Anas Bin Malik R.A berkata:“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”
Namun hendaknya yang demikian ini tidak dilakukan oleh seorang wanita karena beberapa alasan yaitu :
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.
Namun hendaknya yang demikian ini tidak dilakukan oleh seorang wanita karena beberapa alasan yaitu :
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
membuat segalanya menjadi mudah, sehingga muncul pertanyaan, Bolehkah
mengkhitbah melalui sms, telpon, e-mail, dan lainnya? Secara tidak
sengaja, saya menemukan artikel tersebut dan saya berusaha
meng-share-kan di web pribadi saya ini.
Boleh hukumnya mengkhitbah (melamar)
lewat SMS atau media komunikasi yang lain, karena ini termasuk
mengkhitbah lewat tulisan (kitabah) yang secara syar’i sama dengan
khitbah lewat ucapan. Kaidah fikih menyatakan : al-kitabah ka al-khithab
(tulisan itu kedudukannya sama dengan ucapan/lisan). (Wahbah
Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 2/860).
Kaidah itu berarti bahwa suatu pernyataan, akad, perjanjian, dan semisalnya, yang berbentuk tulisan (kitabah) kekuatan
hukumnya sama dengan apa yang diucapkan dengan lisan (khithab). Penerapan kaidah fikih tersebut di masa modern ini banyak sekali. Misalnya surat kwitansi, cek, dokumen akad, surat perjanjian, dan sebagainya. Termasuk juga “bukti/dokumen tertulis” (al-bayyinah al-khaththiyah) yang dibicarakan dalam Hukum Acara Islam, sebagai bukti yang sah dalam peradilan. (Ahmad Ad-Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hal. 71; Asymuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 52).
Kaidah itu berarti bahwa suatu pernyataan, akad, perjanjian, dan semisalnya, yang berbentuk tulisan (kitabah) kekuatan
hukumnya sama dengan apa yang diucapkan dengan lisan (khithab). Penerapan kaidah fikih tersebut di masa modern ini banyak sekali. Misalnya surat kwitansi, cek, dokumen akad, surat perjanjian, dan sebagainya. Termasuk juga “bukti/dokumen tertulis” (al-bayyinah al-khaththiyah) yang dibicarakan dalam Hukum Acara Islam, sebagai bukti yang sah dalam peradilan. (Ahmad Ad-Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hal. 71; Asymuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, hal. 52).
Dalil kaidah fikih tersebut, antara lain
adanya irsyad (petunjuk) Allah SWT agar melakukan pencatatan dalam
muamalah yang tidak tunai (dalam utang piutang) (QS Al-Baqarah : 282).
Demikian pula dalam dakwahnya, selain menggunakan lisan, Rasulullah SAW
juga terbukti telah menggunakan surat. (Kholid Sayyid Ali, Surat-Surat
Nabi Muhammad, Jakarta : GIP, 2000). Ini menunjukkan bahwa tulisan
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan.
Jadi, seorang ikhwan (pria) boleh
hukumnya mengkhitbah seorang akhwat (wanita) lewat SMS, berdasarkan
kaidah fikih tersebut. Namun demikian, disyaratkan akhwat yang dikhitbah
itu secara syar’i memang boleh dikhitbah. Yaitu perempuan tersebut
haruslah : (1) bukan perempuan yang haram untuk dinikahi; (2) bukan
perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah; dan (3) bukan perempuan
yang sudah dikhitbah oleh laki-laki lain. (Nida Abu Ahmad, Al-Khitbah
Ahkam wa Adab, hal. 5).
Ahkam wa Adab, hal. 5).
Adapun Adab-Adab yang perlu diperhatikan dalam mengkhitbah adalah :
1. Nadzor (نضر) yang artinya melihat calon pinangannya. Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya.
Beberapa hadits yang mensunnahkan kedua belah pihak saling melihat sebelum memutuskan untuk melanjutkan pelamaran.
a. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.
Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.
1. Nadzor (نضر) yang artinya melihat calon pinangannya. Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya.
Beberapa hadits yang mensunnahkan kedua belah pihak saling melihat sebelum memutuskan untuk melanjutkan pelamaran.
a. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.
Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.
b. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah
-radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang
wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.
c. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”
Dalam melakukan nadzhor pun terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
* Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.
* Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.
c. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”
Dalam melakukan nadzhor pun terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
* Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.
* Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.
Karena hal ini (melihat kepada lamaran)
hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau
melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia
akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang
bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram sebagaimana firman
Allah SWT dalam Al-Quran Surat An Nur 30-31.
* tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang darihalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”
Adapun batasan tubuh wanita yang boleh dilihat menurut Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”.
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.
Sementara mengenai hukum nadzhor tanpa sepengetahuan pihak wanita adalah dibolehkan sebaimana yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah : “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.
* tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang darihalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”
Adapun batasan tubuh wanita yang boleh dilihat menurut Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”.
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.
Sementara mengenai hukum nadzhor tanpa sepengetahuan pihak wanita adalah dibolehkan sebaimana yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah : “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.
2. Berpenampilan sederhana dalam melamar. woles aja gan ).
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.
Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam
hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus
bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi
oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka
sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”,
maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia
berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor
dengan penampilan seperti itu.
3. Wanita yang akan dinazhor
diperbolehkan berhias sekadarnya. ‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata
menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah
penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati
dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang
wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan
make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau
yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan
tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja,
karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan
orang yang bukan mahramnya”.
4. Istikhoroh. Jika proses nazhor sudah
selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat
istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa
Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah
oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab
-radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”.
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”.
5. Sederhana dalam Mahar.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya
4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”.
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya
4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”.
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut.
Bagaimana dengan batasan waktu mengkhitbah?
Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan nikah, sejauh ini, tidak ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik tempo minimal maupun maksimal.
(Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77). Dengan demikian, boleh saja jarak waktu antara khitbah dan nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,”Kaum muslimin [bermu'amalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu Dawud & Tirmidzi). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 3/59).
Namun para ulama’ cenderung menyatakan semakin cepat menikah adalah semakin baik. Sebab jarak yang lama antara khitbah dan nikah dapat menimbulkan keraguan mengenai keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Keraguan semacam ini sudah sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW,”Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang
tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi & Ahmad). Wallahu a’lam.
Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan nikah, sejauh ini, tidak ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik tempo minimal maupun maksimal.
(Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77). Dengan demikian, boleh saja jarak waktu antara khitbah dan nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,”Kaum muslimin [bermu'amalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu Dawud & Tirmidzi). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 3/59).
Namun para ulama’ cenderung menyatakan semakin cepat menikah adalah semakin baik. Sebab jarak yang lama antara khitbah dan nikah dapat menimbulkan keraguan mengenai keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Keraguan semacam ini sudah sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW,”Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang
tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi & Ahmad). Wallahu a’lam.