Oleh : Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
1. Hukum Memakai Pemerah Bibir (Lipstik)
2. Hukum Wanita Memakai Make-Up Untuk Suaminya
3. Bolehkah Wanita Memakai Sepatu Yang Bertumit Tinggi ?
4. Hukum Wanita Memotong Rambut Di Atas Pundak
5. Memakai Celak Bagi Wanita Dan Juga Bagi Lelaki?
1. Hukum Memakai Pemerah Bibir (Lipstik)
2. Hukum Wanita Memakai Make-Up Untuk Suaminya
3. Bolehkah Wanita Memakai Sepatu Yang Bertumit Tinggi ?
4. Hukum Wanita Memotong Rambut Di Atas Pundak
5. Memakai Celak Bagi Wanita Dan Juga Bagi Lelaki?
1.Pertanyaan
Secara khusus, apa hukum memakai pemerah bibir (lipstik)?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tidak mengapa memakai pemerah bibir. Karena hukum asal sesuatu itu halal sampai jelas keharamannya. Lipstik ini bukan dari jenis wasym/tato (Sementara untuk tato ini terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato (HR. Al-Bukhari dan Muslim)., karena wasym itu menanam salah satu warna di bawah kulit. Perbuatan ini diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Akan tetapi bila lipstik tersebut jelas memberikan madharat bagi bibir, membuat bibir kering dan kehilangan kelembabannya, maka terlarang. Pernah disampaikan kepada saya, lipstik tersebut terkadang membuat bibir pecah. Bila memang pasti hal yang demikian, maka seorang insan dilarang melakukan perkara yang dapat memadharatkan dirinya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 35)
2.Pertanyaan
Apakah diperkenankan seorang wanita memakai make-up untuk suaminya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Seorang istri berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyariatkan, merupakan perkara yang memang sepantasnya dilakukan oleh seorang istri. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya. Hal ini termasuk tujuan syariat. Bila make-up itu memang mempercantik si wanita dan tidak memadharatkannya, tidaklah mengapa dipakai dan tidak ada dosa. Namun masalahnya, saya pernah mendengar make-up tersebut bisa berdampak buruk pada kulit wajah, serta mengubah kulit wajah si wanita di kemudian hari menjadi rusak sebelum masanya rusak disebabkan usia. Karena itu saya menyarankan agar para wanita bertanya kepada dokter tentang hal tersebut. Bila memang demikian dampak/efek samping make-up, maka pemakaian make-up bisa jadi haram atau minimalnya makruh. Karena segala sesuatu yang mengantarkan manusia pada keburukan dan kejelekan, hukumnya haram atau makruh.
Kesimpulannya dalam masalah make-up ini, kami melarangnya bila memang make-up tersebut hanya menghiasi wajah sesaat, tetapi membuat madharat yang besar bagi wajah dalam jangka lama. Karena itulah kami menasihatkan kepada para wanita agar tidak memakai make-up disebabkan madharatnya yang pasti.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 11-12, 35-36)
3.Pertanyaan
Marak di kalangan remaja putri kebiasaan memotong rambut hingga pundak dalam rangka berdandan. Demikian pula memakai sepatu bertumit sangat tinggi dan bermake-up. Lantas apa hukum dari perbuatan-perbuatan tersebut?
Pertanyaan berikutnya, apa hukum memakai celak bagi wanita dan juga bagi lelaki?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu memberikan fatwa dalam masalah di atas, “Potongan rambut wanita bisa jadi modelnya menyerupai potongan rambut laki-laki dan bisa jadi tidak. Bila sekiranya modelnya seperti potongan rambut laki-laki maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang tasyabbuh/menyerupai laki-laki (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas, bab Al-Mutasyabbihina bin Nisa’ wal Mutasyabbihat bir Rijal)
Bila modelnya tidak sampai menyerupai laki-laki, maka ulama berbeda pendapat hingga menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, tidak mengapa. Di antaranya ada yang berpendapat haram. Pendapat yang ketiga mengatakan makruh. Yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu adalah perbuatan tersebut makruh.
Sebenarnya, memang tidak sepantasnya kita menerima segala kebiasaan dari luar yang datang pada kita. Belum lama dari zaman ini, kita melihat para wanita berbangga dengan rambut mereka yang lebat dan panjang. Tapi kenapa keadaan mereka pada hari ini demikian bersemangat memendekkan rambut mereka? Mereka telah mengadopsi kebiasaan yang datang dari luar negeri kita. Saya tidaklah bermaksud mengingkari segala sesuatu yang baru. Namun saya mengingkari segala sesuatu yang mengantarkan perubahan masyarakat dari kebiasaan yang baik menuju kepada kebiasaan yang diambil dari selain kaum muslimin.
Adapun sandal ataupun sepatu yang tinggi, tidak boleh digunakan apabila tingginya di luar kebiasaan, mengantarkan pada tabarruj, dan (dengan maksud) mengesankan si wanita tinggi serta menarik pandangan mata lelaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Maka, segala sesuatu yang membuat wanita melakukan tabarruj, membuat ia tampil beda daripada wanita lainnya, dengan maksud berhias, maka haram, tidak boleh dilakukannya.
Tentang pemakaian make up, tidak mengapa bila memang tidak memberi madharat atau membuat fitnah.
Masalah bercelak ada dua macam:
Pertama: Bercelak dengan tujuan menajamkan pandangan mata dan menghilangkan kekaburan dari mata, membersihkan mata dan menyucikannya tanpa ada maksud berdandan. Hal ini diperkenankan. Bahkan termasuk perkara yang semestinya dilakukan (bagi lelaki maupun wanita, pen.) Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencelaki kedua mata beliau, terlebih lagi bila bercelak dengan itsmid (Celak jenis tertentu).
Kedua: Bercelak dengan tujuan berhias dan dipakai sebagai perhiasan. Hal ini dituntut untuk dilakukan para wanita/istri, karena seorang istri dituntut berhias untuk suaminya. Adapun bila lelaki memakai celak dengan tujuan yang kedua ini maka harus ditinjau ulang masalah hukumnya. Saya sendiri bersikap tawaqquf (tidak melarang tapi tidak pula membolehkan, pen.) dalam masalah ini. Terkadang pula dibedakan dalam hal ini antara pemuda yang dikhawatirkan bila ia bercelak akan menimbulkan fitnah, maka ia dilarang memakai celak, dengan orang tua (lelaki yang tidak muda lagi) yang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah bila ia bercelak.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 8-11)
Dalam masalah sepatu bertumit tinggi, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Al-Walid Abdul Aziz ibn Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memfatwakan, “Memakai sepatu bertumit tinggi tidak boleh, karena dikhawatirkan wanita yang memakainya berisiko jatuh. Sementara seseorang diperintah secara syar’i untuk menjauhi bahaya berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kalian membunuh jiwa kalian.” (An-Nisa’: 29)
Selain itu, sepatu bertumit tinggi akan menampakkan tubuh wanita lebih dari yang semestinya (lebih tinggi dari postur sebenarnya, pen.). Tentunya yang seperti ini mengandung unsur penipuan. Dengan memakai sepatu bertumit tinggi berarti menampakkan sebagian perhiasan yang sebenarnya dilarang untuk ditampakkan oleh wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka atau bapak-bapak mertua mereka (ayah suami) atau anak-anak laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari suami-suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki dari saudara lelaki) atau keponakan laki-laki dari saudara perempuan mereka atau di hadapan wanita-wanita mereka.” (An-Nur: 31) [Fatwa no. 1678, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 17/123-124]
Sumber: www.Asysyariah.com, Penulis : Redaksi Sakinah, Judul: Hukum Sekitar Berhias
Secara khusus, apa hukum memakai pemerah bibir (lipstik)?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tidak mengapa memakai pemerah bibir. Karena hukum asal sesuatu itu halal sampai jelas keharamannya. Lipstik ini bukan dari jenis wasym/tato (Sementara untuk tato ini terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato (HR. Al-Bukhari dan Muslim)., karena wasym itu menanam salah satu warna di bawah kulit. Perbuatan ini diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Akan tetapi bila lipstik tersebut jelas memberikan madharat bagi bibir, membuat bibir kering dan kehilangan kelembabannya, maka terlarang. Pernah disampaikan kepada saya, lipstik tersebut terkadang membuat bibir pecah. Bila memang pasti hal yang demikian, maka seorang insan dilarang melakukan perkara yang dapat memadharatkan dirinya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 35)
2.Pertanyaan
Apakah diperkenankan seorang wanita memakai make-up untuk suaminya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Seorang istri berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyariatkan, merupakan perkara yang memang sepantasnya dilakukan oleh seorang istri. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya. Hal ini termasuk tujuan syariat. Bila make-up itu memang mempercantik si wanita dan tidak memadharatkannya, tidaklah mengapa dipakai dan tidak ada dosa. Namun masalahnya, saya pernah mendengar make-up tersebut bisa berdampak buruk pada kulit wajah, serta mengubah kulit wajah si wanita di kemudian hari menjadi rusak sebelum masanya rusak disebabkan usia. Karena itu saya menyarankan agar para wanita bertanya kepada dokter tentang hal tersebut. Bila memang demikian dampak/efek samping make-up, maka pemakaian make-up bisa jadi haram atau minimalnya makruh. Karena segala sesuatu yang mengantarkan manusia pada keburukan dan kejelekan, hukumnya haram atau makruh.
Kesimpulannya dalam masalah make-up ini, kami melarangnya bila memang make-up tersebut hanya menghiasi wajah sesaat, tetapi membuat madharat yang besar bagi wajah dalam jangka lama. Karena itulah kami menasihatkan kepada para wanita agar tidak memakai make-up disebabkan madharatnya yang pasti.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 11-12, 35-36)
3.Pertanyaan
Marak di kalangan remaja putri kebiasaan memotong rambut hingga pundak dalam rangka berdandan. Demikian pula memakai sepatu bertumit sangat tinggi dan bermake-up. Lantas apa hukum dari perbuatan-perbuatan tersebut?
Pertanyaan berikutnya, apa hukum memakai celak bagi wanita dan juga bagi lelaki?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu memberikan fatwa dalam masalah di atas, “Potongan rambut wanita bisa jadi modelnya menyerupai potongan rambut laki-laki dan bisa jadi tidak. Bila sekiranya modelnya seperti potongan rambut laki-laki maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang tasyabbuh/menyerupai laki-laki (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas, bab Al-Mutasyabbihina bin Nisa’ wal Mutasyabbihat bir Rijal)
Bila modelnya tidak sampai menyerupai laki-laki, maka ulama berbeda pendapat hingga menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, tidak mengapa. Di antaranya ada yang berpendapat haram. Pendapat yang ketiga mengatakan makruh. Yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu adalah perbuatan tersebut makruh.
Sebenarnya, memang tidak sepantasnya kita menerima segala kebiasaan dari luar yang datang pada kita. Belum lama dari zaman ini, kita melihat para wanita berbangga dengan rambut mereka yang lebat dan panjang. Tapi kenapa keadaan mereka pada hari ini demikian bersemangat memendekkan rambut mereka? Mereka telah mengadopsi kebiasaan yang datang dari luar negeri kita. Saya tidaklah bermaksud mengingkari segala sesuatu yang baru. Namun saya mengingkari segala sesuatu yang mengantarkan perubahan masyarakat dari kebiasaan yang baik menuju kepada kebiasaan yang diambil dari selain kaum muslimin.
Adapun sandal ataupun sepatu yang tinggi, tidak boleh digunakan apabila tingginya di luar kebiasaan, mengantarkan pada tabarruj, dan (dengan maksud) mengesankan si wanita tinggi serta menarik pandangan mata lelaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Maka, segala sesuatu yang membuat wanita melakukan tabarruj, membuat ia tampil beda daripada wanita lainnya, dengan maksud berhias, maka haram, tidak boleh dilakukannya.
Tentang pemakaian make up, tidak mengapa bila memang tidak memberi madharat atau membuat fitnah.
Masalah bercelak ada dua macam:
Pertama: Bercelak dengan tujuan menajamkan pandangan mata dan menghilangkan kekaburan dari mata, membersihkan mata dan menyucikannya tanpa ada maksud berdandan. Hal ini diperkenankan. Bahkan termasuk perkara yang semestinya dilakukan (bagi lelaki maupun wanita, pen.) Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencelaki kedua mata beliau, terlebih lagi bila bercelak dengan itsmid (Celak jenis tertentu).
Kedua: Bercelak dengan tujuan berhias dan dipakai sebagai perhiasan. Hal ini dituntut untuk dilakukan para wanita/istri, karena seorang istri dituntut berhias untuk suaminya. Adapun bila lelaki memakai celak dengan tujuan yang kedua ini maka harus ditinjau ulang masalah hukumnya. Saya sendiri bersikap tawaqquf (tidak melarang tapi tidak pula membolehkan, pen.) dalam masalah ini. Terkadang pula dibedakan dalam hal ini antara pemuda yang dikhawatirkan bila ia bercelak akan menimbulkan fitnah, maka ia dilarang memakai celak, dengan orang tua (lelaki yang tidak muda lagi) yang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah bila ia bercelak.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 8-11)
Dalam masalah sepatu bertumit tinggi, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Al-Walid Abdul Aziz ibn Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memfatwakan, “Memakai sepatu bertumit tinggi tidak boleh, karena dikhawatirkan wanita yang memakainya berisiko jatuh. Sementara seseorang diperintah secara syar’i untuk menjauhi bahaya berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kalian membunuh jiwa kalian.” (An-Nisa’: 29)
Selain itu, sepatu bertumit tinggi akan menampakkan tubuh wanita lebih dari yang semestinya (lebih tinggi dari postur sebenarnya, pen.). Tentunya yang seperti ini mengandung unsur penipuan. Dengan memakai sepatu bertumit tinggi berarti menampakkan sebagian perhiasan yang sebenarnya dilarang untuk ditampakkan oleh wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka atau bapak-bapak mertua mereka (ayah suami) atau anak-anak laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari suami-suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki dari saudara lelaki) atau keponakan laki-laki dari saudara perempuan mereka atau di hadapan wanita-wanita mereka.” (An-Nur: 31) [Fatwa no. 1678, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 17/123-124]
Sumber: www.Asysyariah.com, Penulis : Redaksi Sakinah, Judul: Hukum Sekitar Berhias