“Kenapa bukan aku?” pikirnya. Setelah kecemburuannya tak tertahankan lagi, ia meminta suaminya untuk mengusir Hajar.
“Suamiku, bawalah Hajar dan anaknya Ismail pergi dari sini, aku tidak tahan melihatnya,” pinta Sarah.
“Tapi, Hajar baru saja melahirkan dan Ismail masih bayi merah, tidak kasihankah engkau pada mereka?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Aku tidak dapat menahan kecemburuanku melihat anugerah yang diberikan Alloh pada Hajar, tolonglah bawa mereka pergi jauh-jauh!” Sarah memohon.
Nabi Ibrahim terdiam. Kemudian turunlah wahyu Alloh yang memerintahkannya untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah gurun pasir. Maka ia segera menyiapkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Esoknya berangkatlah ketiga anak beranak ini dari Palestina menuju gurun pasir yang tandus.
Berhari-hari mereka mengarungi gurun pasir yang tandus dan terik hingga tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang bernama Mekah. Alloh memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Istriku, disinilah aku harus meninggalkan engkau dan Ismail. Sementara aku harus kembali ke Palestina dan meneruskan dakwahku,” kata Nabi Ibrahim AS.
Mendengar kata-kata suaminya, Hajar menangis karena ketakutan.
“Suamiku tegakah engkau meninggalkan aku dan anakmu yang baru lahir ini di padang tandus tak berpenghuni ini?” tangisnya. “Kemana nantinya aku encari perlindungan?”
“Hajar istriku. Tentu saja berat hatiku meninggalkan kalian berdua di sini. Tapi ini adalah perintah Alloh. Percayalah pada perlindungan-Nya. InsyaAlloh Ia akan selalu menolongmu,” kata Nabi Ibrahim AS.
Hajar segera menyadari tugas yang diemban suaminya sebagai Nabi, maka dengan ikhlas ia merelakan suaminya untuk kembali ke Palestina.
Nabi Ibrahim AS segera memanjatkan doa, memohon perlindungan Alloh untuk anak dan istrinya, “Ya Alloh lindungilah anak dan istriku dan muliakanlah tanah ini di kemudian hari.”
Kemudian dengan perasaan berat ia berpamitan kepada Hajar dan mencium kening Ismail.
Sepeninggal Nabi Ibrahim, Hajar terduduk di tengah gurun. Matahari seolah ingin membakar semua makhluk yang ada di bawahnya. Setan yang senang menggoda manusia, membisikkan pikiran-pikiran jahat di benak Hajar.
“Hai Hajar. Percayakah engkau dengan yang diucapkan suamimu? Alloh tidak mungkin memberikan perintah yang kejam. Itu pastilah akal-akalan suamimu untuk mengusir kalian,” bisiknya.
“Demi Alloh, aku percaya dengan kemuliaan suamiku. Pergilah dari pikiranku!” Hajar berbicara dalam batinnya.
Untuk menentramkan hati, Hajar memanjatkan doa kepada Alloh SWT, “Ya Alloh yang Maha Agung lindungilah hambaMu. Dan berilah hamba ketabahan serta kesabaran yang tinggi.”
Sebentar saja perbekalan mereka habis. Tak ada air yang tersisa. Ismail mulai menangis karena kelaparan dan kehausan. Hajar mencoba menyusuinya, namun tak setetes pun ASInya yang keluar. Ia mulai panik. Ia mencoba memeras kerudungnya, berharap ada keringatnya yang bisa diminum Ismail, tapi keringatnya pun kering. Ia meletakkan putranya di tanah.
“Anakku, tunggulah di sini. Ibu akan mencoba mencari air. Mudah-mudahan di bukit itu ada mata airnya,” kata Hajar.
Lalu ia berlari-lari kecil mendaki bukit Shofa hingga ke puncaknya. Alangkah kecewanya ia, karena tidak setetes air pun yang ditemukannya. Dari puncak bukit Shofa ia melihat bahwa di bukit satunya (bukit Marwah) sepertinya ada mata air. Maka ia kembali berlari menuruni bukit Shofa dan mendaki bukit Marwah. Namun ternyata yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Tak ada air di sana. Bukit itu sama tandusnya. Tiba-tiba ia melihat bahwa di bukit Shofa ada mata air.
Segera ia kembali menuju bukit Shofa dan menemukan bukit itu tandus. Ia terus berlari bolak-balik antara Shofadan Marwah hingga tujuh kali. Inilah nantinya yang dalam ibadah haji disebut Sa’i.
Hajar sangat kelelahan dan hampir putus asa. Tiba-tiba ia melihat Ismail yang masih menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hasil hentakkannya itu keluarlah air yang memancar. Hajar segera berlari mendekati anaknya. Air iu memancar deras dan menyebar kemana-mana.
“Zam zam!” kata Hajar yang artinya ‘berkumpullah’.
Air itu kemudian berkumpul dan membentuk sebuah genangan yang luas. Dengan gembira Hajar memberi minum putranya hingga kenyang, lalu ia pun minum untuk menghilangkan dahaganya.Mimpi Nabi Ibrahim AS
Pada waktu itu para pedagang sering melintasi padang gurun tersebut. Mereka terkejut dengan kemunculan kolam mata air itu. Terlebih lagi melihat keberadaan Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Nyonya, kami adalah rombongan pedagan yang akan pergi ke negeri jauh. Ijinkanlah kami beristirahat dan mengisi perbekalan air kami,” kata ketua rombongan.
“Tentu saja anda boleh. Ambillah air hadiah dari Alloh ini. Tapi bolehkah kami meminta sedikit makanan untuk kami?” kata Hajar.
“Dengan senang hati,” kata ketua rombongan.
Lama-kelamaan semakin banyak pedagang yang lewat dan mampir di air Zamzam untuk mengisi perbekalan. Hajar dan Ismail dianggap sebagai pemilik air Zamzam tersebut. Bahkan mereka membangunkan tempat tinggal untuk mereka berdua. Kemudian banyak dari pedagang dan musafir yang meminta izin untuk menetap sehingga tempat itu menjadi perkampungan yang ramai dan subur. Hajar dan Ismail tidak sendiri lagi. Maha kuasa Alloh yang telah menjawab doa hambaNya.
Beberapa tahun kemudian, Nabi Ibrahim AS datang untuk mengunjungi istri dan anaknya. Ia sangat heran melihat perubahan yang terjadi.
“Ki sanak, apakah di tempat ini ada seorang perempuan bernama Hajar dan putranya Ismail?” tanya Nabi Ibrahim AS kepada seorang penduduk.
“Oh tentu saja. Mereka adalah pemilik sumur Zamzam. Mereka biasanya sedang menggembalakan ternaknya di Arofah,” jawab penduduk.
“Terima kasih,” kata Nabi Ibrahim AS.
Akhirnya Nabi Ibrahim menemukan istri dan anaknya yang sedang menggembala. Mereka berpelukkan dengan bahagia.
“Bagaimana kabarmu istriku?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Alhamdulillah, Alloh selalu melindungi kami,” jawab Hajar. “Ini adalah Ismail putramu. Nak ini adalah ayahmu.”
Ismail mencium tangan Nabi Ibrahim AS.
“Maafkan ayahmu nak. Karena telah meninggalkan kalian begitu lama,” kata Nabi Ibrahim AS.
“Tidak apa-apa ayahanda. Itu sudah takdir Alloh,” jawab Ismail bijak.
“Mari kita pulang ke rumah. Pastinya engkau capai dan ingin beristirahat,” ajak Hajar.
“Baiklah,” kata Nabi Ibrahim AS.
-------
Perintah berqurban
Mereka segera beranjak dari Arofah. Namun setibanya di Mudzdalifah Nabi Ibrahim AS mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Saking capainya mereka ketiduran. Saat itu Nabi Ibrahim AS bermimpi. Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Alloh untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut.
“Astaghfirulloh,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk?” Namun esok malamnya, mimpi itu terulang kembali hingga tiga kali. Akhirnya ia membicarakan hal itu kepada Ismail.
“Nak, sesungguhnya ayah telah bermimpi sebanyak tiga kali. Dan dalam mimpiku, Alloh memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Ayahku, jika memang mimpi itu perintah Alloh, maka laksanakanlah. Insya Alloh engkau akan mendapatiku sebagai anak yang berbakti dan sabar,” jawab Ismail.
Nabi Ibrahim AS sangat bersedih hingga menitikkan air mata. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kini ia harus menyembelih putera tercintanya. Ismail memantapkan hati ayahnya.
Maka esoknya Ismail berdandan dengan baju terbaiknya. Kepada Hajar mereka pamit untuk berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka bertemu seseorang..
“Hai Ibrahim. Betapa kejam hatimu hingga tega menyembelih anakmu sendiri,” katanya.
Nabi Ibrahim AS segera menyadari siapa yang menegurnya. Ia mengambil batu kerikil dan melempari orang itu. Kelak inilah yang dalam ibadah haji disebut Jumratul Ula.
“Dengan nama Alloh pergilah kau setan,” kata Nabi Ibrahim AS.
Setan itu pun lari ketakutan dan menghilang.
Lalu muncul lagi orang yang kedua. Ia pun mengatakan hal yang sama dan Nabi Ibrahim AS melemparinya dengan batu juga. Inilah yang disebut Jumratul Wustha.
Muncul lagi yang terakhir yang juga dilempari batu oleh Nabi Ibrahim AS. Yang ini disebut sebagai Jumratul Aqobah.
Kemudian sampailah mereka di bukit Mina tempat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Ismail.
“Nak, benarkah kau ikhlas dengan perintah Alloh ini?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“InsyaAlloh,” jawab Ismail. “Tapi aku meminta padamu untuk meringankan deritaku. Ikatlah kedua tangan dan kakiku. Tutuplah mukaku dengan baju ini. Percepatlah gesekan pedangmu. Lalu sampaikan salam dan berikan pakaianku kepada ibuku untuk kenang-kenangan.”
“Baik anakku. Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Nabi Ibrahim AS dengan hati hancur.
Ismail berbaring terlentang di atas sebuah batu, sementara pedang Nabi Ibrahim AS telah berada di lehernya.
“Bismillahirrohmanirrohiim..” suara Nabi Ibrahim AS begitu gemetar.
Sesaat sebelum pedangnya menyentuh kulit Ismail, terdengar suara ghaib memecah angkasa.
“Wahai Ibrahim kau telah membuktikan ketaatanmu kepada Alloh. Dan Alloh berkenan memberimu balasan yang setimpal.”
Di depan Nabi Ibrahim AS kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia menuntun seekor domba yang besar dan bagus.
“Allohu Akbar, Allohu Akbar..” salamnya.
“La Ilaaha Illalahu, Allohu Akbar..” sahut Nabi Ibrahim AS.
“Allohu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail.
“Wahai Ibrahim. Alloh memerintahkan untuk mengganti kurbanmu dengan seekor domba. Sembelihlah domba itu sebgaia ganti anakmu. Makanlah dagingnya dan jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagimu. Sedekahkanlah sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Demikianlah Alloh memberi balasan kepada orang-orang yang taat,” kata Malaikat.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail sangat gembira. Mereka menyembelih domba tersebut dan membagi-bagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Begitulah asal mula adanya Hari Raya Idul Adha atau Hari aya Qurban atau disebut juga Hari Raya Haji.