Beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla membutuhkan kesabaran dari kita semua, di samping membutuhkan kesungguhan. Kita berperang menghadapi hawa nafsu kita yang ada pada diri kita masing-masing yang selalu mengajak kita kepada yang jelek, selalu mengajak kepada kita untuk berbuat pelanggaran-pelanggaran kepada Allah dan berbuat maksiat. Oleh karena itu Allah menyatakan tentang hawa nafsu ini :
إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya hawa hafsu selalu mengajak kepada kejelekan, kecuali yang dirahmati oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yusuf: 53)
Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu mengajak kepada yang jelek, munkar, dan maksiat. Ini adalah sifat daripada hawa nafsu.
Oleh karena itu Allah Azza wajalla melarang kita untuk mengikuti dan mentaati hawa nafsu. Karena mengikuti dan mentaati hawa nafsu merupakan sebab terbesar dari jatuhnya anak Adam ini kepada kehancuran dan kebinasaan.
Allah Azza wajalla melarang kita di banyak ayat-Nya di dalam Al Qur’an untuk kita menjadikan hawa nafsu sebagai panutan. Allah Azza wajalla melarang Nabi-Nya, Nabiyyallah Dawud Alaihis sholatu wassalam:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan." (QS. Shaad: 26)
Di ayat ini Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa hawa nafsu merupakan penyebab terbesar tergelincirnya dari hidayah, agama Allah!
Kemudian di dalam ayat yang lainnya Allah Subhanahu wata’ala menyatakan kepada Nabi-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabbnya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al Jatsiyah: 23)
Wahai Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wa Sallam– coba engkau kabarkan kepada–Ku tentang kondisi orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai panutan yang ditaati, didengar dan diikuti. Yang mana Allah telah menyesatkan dia dalam kondisi dia berilmu (mengerti mana yang halal dan mana yang haram, tahu mana yang haq dan mana yang bathil). Hal itu semua karena dia menjadikan hawa nafsunya sebagai panutan.
Akhirnya Allah Azza wajalla kunci pendengarannya dan mata hatinya. Dia mendengar ayat Al Qur’an, mendengar bahwa Allah Subhanahu wata’ala melarang suatu perbuatan tetapi hawa nafsunya lebih dia panuti. Seolah-olah dia tidak mendengar. Allah Subhanahu wata’ala segel pendengaran dia.
Demikian juga hatinya, juga mendengar ayat-ayat, hadits, nasehat, tapi –subhanallah- hatinya tidak bisa menerima. Hatinya tidak bisa cair dengan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Apa sebab? Kenapa dia demikian kondisinya, (yakni) tersesat dalam kondisi mengerti? Sebabnya dia menjadikan hawa nafsunya sebagai panutan.
Dan Allah Subhanahu wata’ala jadikan di depan matanya itu penghalang. Subhanallah, di sebelahnya saudaranya bisa melihat bahwa ini bathil, tapi dia -yang mungkin merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi- seolah-olah dia tidak melihat itu. Benar-benar Allah Subhanahu wata’ala sudah butakan, Allah Ta’ala jadikan penghalang antara mata dia dengan Al Haq, sehingga tidak menganggapnya sebagai Al Haq. Allah Subhanahu wata’ala halangi antara penglihatan dia dengan yang bathil sehingga dia tidak melihat bahwa itu adalah bathil. Apa sebabnya? Karena mengikuti hawa nafsu.
Di ayat yang lain -hampir sama maknanya dengan ayat di atas- Allah Ta’ala mengajak bicara Nabi-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا
"Apakah kamu melihat terhadap orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabbnya. Apakah engkau menjadi penjamin atasnya." (Al Furqan: 43)
Wahai Muhammad, coba itu lihat, beritakan kepada-Ku tentang kondisi orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabbnya (sebagai yang ditaati dan dipanuti oleh dia serta diikuti kemauannya). Apakah engkau, Wahai Muhammad, mau menjamin (atas) hidayah orang tersebut?!!
Subhanallah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ditantang oleh Allah. Rasulullah yang seperti itu, yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wata’ala, yang selalu rajin berdakwah, manusia terbaik akhlaqnya, ketika berbicara tentang orang yang mengikuti hawa nafsunya Allah katakan, "Apakah kau menjadi penjaminnya? Menjamin dia untuk dapat hidayah?" Niscaya tidak bisa!! Ini bahayanya mengikuti hawa nafsu.
Banyak sekali ayat-ayat di Al Qur’an yang mencela tentang hawa nafsu ini. Oleh karena itu kita juga dilarang oleh Allah Subhnahu wata’ala untuk mengikuti orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Kita dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk mengikuti jejaknya orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Kita diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk bersabar bersama orang-orang ang bersabar di dalam berdakwah kepada Allah Subhnahu wata’ala, bersabar di dalam beribadah kepada Allah Subhnahu wata’ala, dan bersabar dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan kepada kita, bahkan ayat ini sebenarnya yang diajak berbicara pada awalnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan Nabi-Nya. Kalau Rasulullah diingatkan dengan ini tentunya kita lebih-lebih terkena dengan ayat ini:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
"Maka sabarkanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang senantiasa menyeru Rabbnya pagi dan petang mengharapkan wajah-Nya. Dan janganlah kau palingkan pandanganmu dari mereka karena kau menginginkan perhiasan dunia. Dan jangan pula kau ikuti orang-orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, mengikuti hawa nafsunya dan urusannya selalu melampaui batas. (Al Kahfi : 28)
Sabarkan dirimu, wahai Muhammad, sabarkan! Bersama dengan orang-orang yang selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala, berdzikir, beribadah kepada Allah Ta’ala pagi dan petang, siang dan malam. Itu orang-orang yang terus beribadah kepada Allah Ta’ala, meluangkan waktunya, pikiran, dan tenaganya untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, untuk mengerti tentang hukum-hukum syari’at Allah Ta’ala, berusaha untuk mengenal dienullah, berusaha untuk berdakwah kepada jalan Allah Ta’ala. Sabarkan dirimu bersama mereka itu.
Jangan sekali-kali engkau memalingkan pandanganmu dari mereka untuk kemudian menoleh kepada orang-orang yang Allah jadikan mereka lupa dari dzikrullah dan beribadah kepada-Nya. Sabar! Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk bersabar dengan mereka.
Dan juga jangan sekali-kali engkau mengikuti kemauan orang-orang yang Allah Ta’ala lupakan hati mereka, lupa dari dzikrullah dan ibadah kepada Allah Ta’ala, lupa dari menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala dan cenderung mengikuti hawa nafsunya. Dan jangan pula engkau mengikuti mereka-mereka yang perkaranya selalu melampaui batas.
Ini Rasulullah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Dan tentunya kitapun lebih-lebih diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk bersabar. Rasulullah itu imamnya orang-orang yang sabar. Tetapi oleh Allah masih diingatkan.
Dan kita pun di masa-masa seperti ini, di mana Islam sudah banyak dijauhi oleh umat Islam sendiri. Di masa-masa di mana umat Islam merasa minder ketika ingin menampilkan tentang dienul Islam. Di masa di mana umat Islam merasa kecil hati ketika menampilkan syi’ar-syi’ar Islam. Di mana sunnah-sunnah Rasul dan petunjuk-petunjuk beliau cenderung untuk ditinggalkan. Di mana apa-apa yang Allah larang cenderung umat Islam ini beramai-ramai melakukannya. Di saat-saat seperti ini benar-benar dituntut kepada kita untuk bersabar. Sabar menahan hawa nafsu kita. Sabar untuk memerangi hawa nafsu kita.
Oleh karena ini Al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad menyebutkan tentang perkara yang wajib bagi umat Islam yaitu untuk memerangi hawa nafsu dan menundukkannya. Supaya hawa nafsu itu mau tunduk, bukan kita yang tunduk kepadanya. Pernyataan ini kemudian dinukil oleh Al Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahab di dalam Al Utsuluts Tsalatsah:
Hawa nafsu itu harus ditundukkan dalam 4 perkara [1]:
Pertama
Hawa nafsu itu harus ditundukkan agar dia tunduk di dalam menuntut ilmu agama, berilmu tentang Allah, Dienul Islam, dan tentang Nabi-Nya. Harus ditundukkan hawa nafsu kita. Di tengah-tengah kondisi yang seperti ini, ketika umat Islam sendiri membanggakan syi’ar-syi’ar selain syi’ar Islam. Ketika umat Islam sendiri merasa minder untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang mempelajari Islam.
Kita lihat di masyarakat kita, kalau dia punya anak yang pandai, pinter, cerdas, tidak mau menyekolahkan anaknya di tempat-tempat yang dikaji di sana ilmu-ilmu Islam, atau istilahnya di tempat kita “Pondok Pesantren”, walaupun memang Pondok Pesantren ini perlu digarisbawahi pula, tetapi ada alasan bagi sebagian umat Islam untuk enggan menyekolahkan anak-anaknya di Pondok Pesantren [2]. Secara umum, kebanyakan mereka merasa kecil hati ketika anaknya ditanya “Sekolahnya di mana?”, “Oh, mondok”, tetapi jika anaknya kuliah “Wah kuliah di UGM Yogya” atau institut ini dan itu (menyebutkanya dengan penuh kebanggan). Tapi jika di Pondok Pesantren dengan berat (menyatakan) “mondok di sini”. Dan tidak akan menyekolahkan anaknya di pondok kecuali kalau anaknya sudah nakal. Sudah tidak mampu menangani anaknya, kepayahan di rumah, tidak taat kepada orang tua, sekolahnya sering tidak naik kelas, sudah sering distrap (dihukum) oleh gurunya, barulah di saat ini “giliran Islam ini”. Subhannallah, kondisi ini kita lihat ada di tengah-tengah umat Islam. Ternyata tanpa disadari umat Islamlah yang sedikit banyak punya andil untuk merendahkan Islam.
Di saat seperti ini butuh kesabaran untuk kita duduk mendengar Firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, (yakni) apa yang dikatakan oleh Allah Ta’ala di dalam Al Qur’an, dan memahami maknanya. Mendengar apa yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mengerti dan memahami maknanya. Duduk bersimpuh di rumah-rumah Allah Ta’ala dalam rangka mengenal agama Allah ini butuh kesabaran. Betapa tidak?! Di jam-jam seperti ini (ba’dal Maghrib) mungkin jam-jam yang penuh godaan, mungkin acara sinetron pada jam-jam sekian atau berita dunia, atau janjian mau beli sesuatu dari kita yang mana kita mendapat faidah dari sana, jam-jam sekian jam-jam buka toko. Ini godaannya. Dituntut untuk kita menundukkan hawa nafsu kita : “Ayo ke masjid, ayo kita belajar, ayo kita mengenal kalamullah, kita mengenal kalam Rasulullah”
Bahkan kadang-kadang bukan hanya waktu saja yang dituntut dari kita, tenaga bahkan sampai dunia kita dituntut untuk dikorbankan dalam rangka thalabul ‘Ilmi (menuntut ilmu).
Dunia kita dituntut, dalam rangka menundukkan hawa nafsu kita yang cinta dunia ini, mau mengenal ilmu agama Allah. Para pendahulu kita dari kalangan shahabat Rasulullah, yang di tangan merekalah Islam ini jaya dengan ketentuan dan pertolongan Allah. Di zaman merekalah Islam ini sampai pada puncaknya. Bagaimana mereka? Benar-benar mereka meluangkan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan kalamullah dan kalam Rasulullah. Sampai-sampai diriwayatkan dalam banyak hadits, mereka bergantian di dalam mencari dunia. Sebagian mereka punya onta, bergabung dengan beberapa (penggembala) onta yang lainnya, untuk mereka mengatur jadwal mengambala ontanya itu. Sehari si fulan berangkat mengembala, besok giliran si fulan. Jadi digabung ontanya. Ini punya 50 ekor, yang ini sekian nanti gantian, ada jadwalnya, untuk mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan perkataan beliau atau amalan beliau. Untuk mendengar sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam atau melihat secara langsung akhlaq Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, aqidah beliau, tauhid beliau, ibadah beliau. Ingin dekat dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, dalam rangka mendapatkan ilmu.
Para ulama dan para muhadditsin, mereka benar-benar berjuang untuk menuntut ilmu. Meninggalkan keluarganya. Sampai-sampai sebagian mereka di dalam menuntut ilmu pergi dari satu negara ke negara yang lainnya, dari satu negeri ke negeri yang lainnya. Meninggalkan keluarganya, orang tuanya, sanak saudaranya. Ketika setiap datang surat kepadanya, biasanya ketika bulan haji, para muhaditsin juga berhaji ke Makkah, di sana bertemu dengan orang-orang dari kampungnya dengan membawakan surat. Ada seorang muhaddits yang setiap menerima surat dari keluarganya ditaruh di kotak. Nanti tahun berikutnya dapat surat lagi, tidak dibuka, dia taruh di situ. Sampai berpuluh-puluh tahun. Terakhir setelah dia merasa sudah saatnya untuk pulang selesai thalabul ilmu untuk mendakwahkan dan menyampaikan apa yang dia dapatkan dari ilmu yang dia tuntut itu, di saat itu baru dia buka suratnya. Ternyata didapatkan di dalam surat itu bahwa ayahnya sudah meninggal dunia, bibinya sudah meninggal, ibunya sakit, kemudian di surat yang berikutnya sudah meninggal. Subhanallah! Begitu tabahnya dalam rangka mengkhususkan diri untuk supaya tidak disibukkan hatinya dengan kehidupan dunia. Ingin menuntut ilmu-ilmu dien yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wata’ala, kalamullah dan kalam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Al Imam Malik bin Anas Rahimahullah, ketika hendak menuntut ilmu dia harus pergi ke negeri lain, di mana perjalanan ke sana menuntut darinya bekal yang banyak. Sementara dia melihat ke kanan ke kiri tidak ada yang bisa dia jadikan sebagai bekal. Uang tidak ada. Tidak lagi donatur yang bisa membiayai dia untuk thalabul ilmi. Akhirnya dia menoleh ke kanan ke kiri, tiba-tiba pandangan dia tertuju kepada atap rumahnya yang dia tinggali. Maka diturunkan itu atap, dibongkar oleh dia, kemudian kayu-kayu dan apa yang dijadikan sebagai atap rumahnya itu dibawa ke pasar, dia jual. Dan berangkatlah beliau menuntut ilmu. Mungkin kalau beliau atau orang seperti beliau ada di zaman kita, orang mengatakan “ini orang sudah gila! Masak atap rumah dijual” . Akan berbagai macam pembahasan tentang orang tersebut.
Seorang muhaddits datang ke sebuah majelis ilmu dan di sana ia ingin mencatat. Namun tiba-tiba ternyata dia kehabisan kertas untuk menulis. Dia punya uang –kalau tidak salah—satu dirham. Dia bingung “Kalau uang ini saya belikan kertas, saya lapar, saya tidak bisa makan. Kalau saya belikan makanan saya ini harus hadir di majelis ilmu untuk mencatat hadits-hadits Rasulullah.” Kebingunan dia. Akhirnya sambil memikirkan uang logam tersebut ditaruh di lisannya dan ditutup (mulutnya). Dia berpikir “beli kertas apa beli makanan” terus bingung. Tanpa terasa tiba-tiba uang tersebut tertelan. Tidak kertas tidak pula makanan yang dia dapatkan. Yakni (ini menunjukkan) berbagai macam kehidupan mereka, susah payah (dalam upaya) mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah, di penjuru dunia. Ada yang dari Makkah pergi ke Bashrah. Dari Bashrah pergi ke Damaskus. Dari Damaskus….dst. keliling dalam rangka mencari dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang dien, tentang Al Qur’an. Mereka benar-benar sabar di dalam memerangi dan menundukkan hawa nafsunya. Kalau hawa nafsu maunya tinggal saja di rumah Ada apa? Makan enak, tidak kehujanan, tidak kepanasan, tidak sakit. Tetapi benar-benar mereka adalah orang-orang yang berhasil, yang dipuji oleh Allah dan Nabi-Nya. Dan di zaman merekalah Islam ini jaya, ketika orang-orang seperti mereka ini para pembela Islam masih hidup.
Beda dengan zaman kita. Menuntut ilmu agama, kalau toh mau menuntut ilmu agama, ujung-ujungnya cari kerja bukan dalam rangka berdakwah. Sabar di atas kekurangan. Sementara kebanyakan kita menuntut ilmu agama maunya tidak susah. Yang enak-enak saja.
Lebih para lagi di zaman kita ini, berbangga-bangga kalau berhasil menuntut ilmu agama Islam di beberapa universitas di eropa atau Amerika Serikat. Masya Allah… menuntut ilmu Islam di Barat!?? Kira-kira apa jadinya?! Ketika sampai di sana ketemu dengan para pendeta, dengan para misionaris. Kira-kira apa yang mau diharapkan?! Pulanglah ke negerinya dengan berbagai macam kerancuan-kerancuan Islam. Sebagian mereka menyatakan setelah pulang dari sana (Barat), "bahwa ada beberapa ayat Al Qur’an yang tidak bisa diterapkan di zaman kita ini." Masya Allah..! "Ayat ini dan ayat ini tidak cocok di zaman kita." Subhanallah ‘amma yashifun, subhanallah ‘amma yusyrikun. Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan, bahwa ada kalamullah, Al Qur’an yang dijadikan sebagai kitab terakhir, ada beberapa ayat dan ketentuannya yang tidak pas di zaman kita?!! Ini cacian terhadap Allah Rabbul ‘alamin!! Allah menyatakan di Al Qur’an:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
"Dan tidaklah Rabbmu itu lupa." (Maryam: 64)
Sama sekali Allah Subhanahu wata’ala itu tidak pernah lupa atau terlalaikan dari suatu perkara. Allah Subhanahu wata’ala telah menurunkan Al Qur’an ini sempurna sesuai dengan siapa pun, di mana pun, kapan pun bagi mereka-mereka yang menjalankan ketentuan Allah di dalam Al Qur’an.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"Inilah Al Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan padanya sedikitpun sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa." (Al Baqarah: 1)
Tidak ada keraguan bahwa Al Qur’an ini haq semuanya. Tidak ada keraguan bahwa Al Qur’an telah mengandung semua kebaikan bagi umat manusia ini. Tidak ada keraguan bahwa Al Qur’an ini cocok di setiap zaman, baik di zaman Nabi, di zaman sesudah Rasul, di zaman kita, dan sampai yaumil qiyamah.
Pulang dari Amerika setelah belajar Islam kemudian menyatakan seperti itu (bahwa ada ayat Al Qur’an yang tidak cocok di zaman ini). Lagi ada yang belajar kemudian pulang dari Amerika, Belanda, sesampainya di sini menyatakan, “Oh Rasulullah itu seorang yang cerdik dan pandai. Al Qur’an ini yang begitu indah bahasanya merupakan hasil karya Nabi Muhammad!” Masya Allah..! Rasulullah yang Allah sifatkan dalam Al Qur’an Nabiyul Ummy, nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, yang dinyatakan dalam Al Qur’an.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An Najm: 3-4)
Datang dari Oxford University (setelah) belajar Islam, dapat gelar doktor, sebagiannya sudah professor, kemudian menyatakan pernyataan seperti ini?!! Berbagai macam kerancuan-kerancuan. Pulang dari Belanda (setelah belajar islam) kemudian menyatakan berbagai macam pernyataan yang mencaci maki shahabat Rasulullah, yang dipuji oleh Allah di Al Qur’an. Bahkan dipuji oleh Allah Ta’ala, disebutkan sifat-sifat mereka bukan hanya di Al Qur’an tapi juga disebutkan di dalam Taurat dan Injil.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang terhadap sesamanya. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka di dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al Fath: 29)
Masya Allah… jadi shahabat Rasulullah telah disebutkan sifat-sifatnya sebelum mereka lahir. Kemudian datang seorang yang belajar Islam di Rumania, Los Angles kemudian menyatakan bahwa shahabat-shahabat Rasulullah adalah orang-orang yang bodoh, orang yang tidak mengerti atau tidak bisa berpikir, tidak bisa berfilsafat. Subhanallah…berarti Allah juga salah ketika memuji mereka??!!??
Menuntut ilmu agama diwajibkan kepada setiap muslim. Mengerti tentang haq dan bathil, mengerti dan bisa membedakan tentang mana yang Tauhid mana yang Syirik. Mengerti dan membedakan mana yang sunnah mana yang bukan sunnah. Mengerti dan bisa membedakan mana yang halal dan mendatangkan ridla Allah, mana yang bisa mendatangkan murka Allah. Ini semua adalah kewajiban yang diwajibkan kepada setiap muslim. Dan hawa nafsu kita tidak mau dengan yang ini. Hawa nafsu kita cenderung menolak. Oleh karena itu Ibnul Qayyim menyatakan harus ditundukkan hawa nafsu kita untuk ini.
Kedua
Hawa nafsu kita harus ditundukkan agar dia mau beramal dengan ilmu yang telah dipelajari dan diketahui.
Beramal: tahu ini haq, ikuti! Tahu ini bathil, tinggalkan! Jangan lagi setelah dia tahu ini adalah Al Haq kemudian tidak mau mengikuti Al Haq tersebut.
Beramal dengan apa yang telah dia ketahui dan dia pelajari. Walaupun amalan ini berat baginya, tidak disukai oleh orang lain, tidak disukai oleh kebiasaan orang di sekitarnya, tidak pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Ketika Allah dan Rasul-Nya menyatakan ini adalah amalan ibadah, segera diamalkan. Jangan lagi mengikuti hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu adalah ciri-ciri orang yang akan tersesat, sebagaiman disebutkan tadi di dalam Al Qur’an:
وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
"Dan jangan sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu. Karena dengan itu (akibat mengikuti hawa nafsu) akan menyesatkan/memalingkan engkau dari agama Allah." (QS. Shaad: 26)
Sudah tahu ini Al Haq, Allah sudah menyatakan bahwa ini adalah Al Haq, ini adalah sebuah ibadah yang benar, tidak pantas lagi bagi kita untuk kemudian kita tidak beramal, karena satu dan lain hal. Untuk kemudian kita menyatakan sebuah pernyataan sebagai bentuk penolakan kita terhadap amalan tersebut sebagaiamana dinyatakan oleh orang-orang musyrikin. Orang-orang musyrikin ketika disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang Al Haq mereka menolak dengan mengatakan, “ini tidak ada dalam kebiasaan kami”. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyatakan, “Ini wahyu Allah, ini Allah yang memerintahkan!!” Tapi mereka mengatakan, “Tidak. Kami tidak pernah melihat atau mendengar dari nenek moyang kami tentang perbuatan ini.”
Allah Ta’ala menceritakan mereka,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al Baqarah: 170)
Padahal Al Haq sudah dia ketahui dan sudah dia dengar. Tetapi hawa nafsu tidak mau dia meninggalkan kebiasaan yang dilakukan di daerahnya. Ini ciri-ciri daripada kaum yang kemudian Allah sesatkan mereka. Karena mengikuti hawa nafsu.
Oleh karena itu Ibnul Qayyim menyatakan hawa nafsu kita harus tunduk. Ada sebagian orang yang ketika tahu Al Haq, tidak mau beramal dengannya disebabkan karena “Wah, ini tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan organisasi kami.” Atau bahasa sekarang “Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi kami.” Kita sampaikan kepada dia “Ini Rasulullah yang menyatakan seperti ini!”. Mereka jawab, “Ya, tapi AD/ART kami menyatakan nggak benar ini.”, Kita katakan, “Ini Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menyatakan…!” Mereka jawab, “Ya, tapi…nggak bisa menyalahi ketentuan….”. Subhanallah ‘amma yashifun!! Rasulullah ini yang menyatakan! Kamu beriman kepada Nabi? “Ya beriman.” Siapa Nabi itu? “ya Rasul.” Apa artinya Rasul? “utusan Allah.” Apa makna syahadat Muhammadar Rasulullah? Tidak bisa menjawab. Perlu antum ketahui bahwa makna syahadat Muhammadar Rasulullah : ketika kamu bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu sebagai utusan Allah maknanya bahwa engkau harus mentaati semua yang dinyatakan oleh Rasulullah, meninggalkan apa yang dilarang oleh beliau, membenarkan semua berita yang diberitakan oleh Nabi baik berita yang telah lalu maupun berita yang akan terjadi.
Ini arti engkau beriman kepada Rasulullah, yang setiap hari engkau nyatakan Asyhadu an Laailaaha illallah wan anna Muhammadar Rasulullah. Kalau engkau beriman kepada Rasulullah sebagai rasul (utusan Allah) yang diberi amanah oleh Rabbul ‘Alamin, maka amalkan! Jangan kemudian kita mendahulukan aturan-aturan manusia dibandingkan pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (Al Hujurat: 1-2)
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan sesuatu terhadap perkataan Nabi. Dan janganlah kalian ini, wahai orang-orang yang beriman, mengangkat suara-suara kalian terhadap suara Rasul.
Kata para mufassirin tentang ayat ini: Dilarang mengangkat suara terhadap suara Rasul kalau di zaman beliau hidup, yakni jangan kita mengangkat suara kita di hadapan beliau ketika beliau berbicara. Namun setelah beliau meninggal, jangan kita mengangkat suara kita terhadap suara Rasul (yakni) hadits-hadits dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Ini point kedua yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim (bahwa) harus hawa nafsu itu ditundukkan agar mau beramal. Walaupun berat terhadap hawa nafsu kita. Atau berat terhadap hawa nafsu sebagian saudara kandung kita, lingkungan kita, orang-orang yang satu organisasi dengan kita. Kita berorganisasi dalam rangka Al Birr wat Taqwa (berbuat baik, bekerja sama, saling tolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan).
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa." (Al Maidah: 2)
Kalau seandainya di dalam kerja sama itu ternyata bukan dalam rangka kebaikan dan ketaqwaan, justru malah menentang Allah dan Rasul-Nya, ketika disampaikan ayat Al Qur’an dia tidak mau mendengarkannya, ketika disampaikan sabda Rasul justru mendahulukan pernyataan pendahulunnya atau pernyataan pendiri organisasinya, maka di saat seperti ini Allah menyatakan,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al Maidah: 2)
Sekali lagi Ibnul Qayyim menyatakan yang kedua kali bahwa hawa nafsu ini harus ditundukkan untuk dia mau beramal dengan ilmu yang telah dia ketahui dengan Al Haq yang telah disampaikan kepadanya. Ilmu maksudnya bukan hanya harus dengan duduk dan mencatat saja, ilmu juga dengan mendengar dari seseorang bahwa ayat Al Qur’an menyatakan begini, Rasul menyatakan begini, ini sudah ilmu baginya. Kita harus beramal, jangan sampai hawa nafsu kita mencegah untuk kita beramal. Kalau begitu akan menjdi penyebab terbesar celaka dan sesatnya kita.
Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, apa yang mencegah dia untuk menyatakan kalimat Laailaaha illallah ? Apa karena dia tidak berilmu tentang Laailaaha illallah? Sudah berilmu dia. Apa dia tidak berilmu tentang Islam ini adalah dien yang benar, dien Nabi Muhammad itu adalah dienut Tauhid yang haq? Punya, mengerti. Sampai diriwayatkan sebuah pernyataan dari dia, bahwa dia menyatakan tentang aqidah dia dan keyakinan dia tentang Islam, tentang agama yang dibawa oleh Rasul:
"Aku ini telah yakin bahwasanya agama yang dibawa oleh Muhammad adalah sebaik-baik agama di muka bumi. Kalau bukan karena kekhawatiran terhadap caci makian dari kaumku (Quraisy) niscaya kau dapati aku menerima agama tersebut."
Suku Quraisy itu seperti organisasi, ada Syaikhul Qabilahnya, ada pimpinannya, ada pimpinan pusat, pimpinan daerah. Terbagi-bagi lagi ada daerah, wilayah, cabang, ranting. Dalam suku Quraisy ada Bani Hasyim, Bani Muthalib, bani Naufal, Bani Abdi Syams dan berbagai macam qabilah yang di bawah naungan organisasi ‘Quraisy’. Abu Thalib ini tidak mau mengucapkan Laailaaha illallah, walaupun satu kalimat saja, pada kalimat terakhir yang dia ucapkan sebelum dia meninggal. Rasulullah menyatakan, "Wahai pamanku, ucapkan kalimat Laailaaha illallah, sebuah kalimat yang aku nanti bisa di hadapan Allah untuk memintakan ampunan untuk engkau!!"
Nggak mau. Apa yang menyebabkan dia (tidak mau mengucapkannya)? Hawa nafsunya menyatakan “jangan nanti orang-orang di kampung saya akan menyebut “Oh, Abu thalib sudah melanggar ketentuan-ketentuan Quraisy. Oh, Abu Thalib sudah keluar dari AD/ART Qabilah Quraisy!” buktinya Abu Jahal, dan beberapa orang lainnya yang disebelahnya, membisikkan, "Apakah engkau sudah tidak mau lagi dengan ketentuan-ketentuan dari Bani Mutthalib?"
(Sehingga ketika akan menyambut ajakan Rasulullah) ragu lagi Abu Thalib. Tidak mau mengikuti Nabi. Sebab hawa nafsu, takut kehilangan gengsinya di hadapan kaumnya. Inilah yang kemudian Allah nyatakan,
وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
"Dan jangan sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu. Karena dengan itu (akibat mengikuti hawa nafsu) akan menyesatkan/memalingkan engkau dari agama Allah." (QS. Shaad: 26)
Allah sesatkan dia dalam kondisi dia mengerti/berilmu tentang Al Haq. Tidak mau beramal dengan ilmu yang dia ketahui. Tidak mau menundukkan hawa nafsunya untuk mengatakan Sami’na wa atha’na “Kami mendengar dan kami mentaati”.
Oleh karena itu bahaya sekali mengikuti hawa nafsu. Tidak ada antara kita ikatan apapun kecuali ikatan Al Quran dan ikatan As Sunnah. Ikatan ini lebih kuat dan erat dari ikatan saudara sekandung, apalagi ikatan saudara sekampung. Apalagi ikatan yang lainnya. Yang jelas ikatan Al Qur’an dan As Sunnah darimanapun ia datang, berkulit apa pun dia, berbahasa apapun dia, itu adalah ikatan yang terkuat.
Ketiga
Hawa nafsu harus ditundukkan untuk dia itu mau berdakwah, mengajak kepada apa yang telah dia ketahui dan dia amalkan.
Mengajak orang di sekitarnya, mengajak keluarganya, masyarakatnya, untuk mereka mau juga beramal dan berilmu dengan apa yang telah didapatkan itu.
Dan ini semua benar-benar membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga ditegur dan diingatkan,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
"Maka sabarkanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang senantiasa menyeru Rabbnya pagi dan petang mengharapkan wajah-Nya. Dan janganlah kau palingkan pandanganmu dari mereka karena kau menginginkan perhiasan dunia. Dan jangan pula kau ikuti orang-orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, mengikuti hawa nafsunya dan urusannya selalu melampaui batas. (Al Kahfi : 28)
Sabarkan dirimu, usahakan untuk sabar wahai Muhammad! Bersama orang-orang yang siang-malam, pagi-petang mereka berdo’a kepada Allah, beribadah dan bertaqarrub kepada Allah. Duduk dan berjalan bersama mereka. Sabarkan. Walaupun mereka orang-orang yang fuqara. Janganlah kemudian pandanganmu menoleh kepada kehidupan dunia.
Ternyata berdakwah tidak gampang. Banyak konsekuensi yang harus dia tanggung di dalam berdakwah. Bukan kemudian dengan berdakwah itu dia semakin enak hidupnya. Justeru semakin berat. Karena dia sedang mau mengikuti jalannya orang-orang yang telah lalu, mendahului kita di dalam berilmu, beramal, dan berdakwah. Ternyata kehidupan mereka benar-benar dalam kondisi yang kalau kebanyakan kita tidak mampu menanggungnya. Siapa yang berada di puncaknya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah itu manusia yang paling dicintai oleh Allah. Sebagian dan banyak dari kita beranggapan kalau kita ingin banyak rizki (maka) banyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah supaya rizkinya dibuka oleh Allah. Bahkan ada yang menambah-nambah dalam syari’at ini suatu amalan yang tidak dicontohkan, misal baca surat ini dan itu supaya kaya. Rasulullah saja, orang yang paling dekat kepada Allah, beribadah siang dan malam, Qiyamullail sampai bengkak kakinya. Kata ‘Aisyah Radliyallahu ‘anha, “Ya Rasulullah, Ya Nabiyyalah, bukankah engkau telah diampuni oleh Allah segala dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang?" Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, "Tidakkah boleh aku menjadi seorang hamba yang penuh syukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan kepadaku?"
Diangkat sebagai seorang Nabi, sebagai orang tercinta di sisi Allah, dan berbagai kenikmatan -Subhanallah- toh kehidupannya miskin. Ketika meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam masih meninggalkan pakaian yang digadaikan kepada seorang Yahudi. Tidak punya makanan. Butuh gandum, mau beli tidak ada uang, mau utang tidak bisa. Akhirnya salah satu pakaian Rasulullah (pakaian perang) digadaikan untuk dapat gandum (kalau kita dapat beras). Berarti yang mau dimakan nggak ada. Bukan nggak bisa beli sepeda motor, atau nggak bisa membangun kamar mandi yang bagus di rumah. Untuk dimakan nggak ada!!
Ini kehidupan Nabi. Coba kita lihat kehidupan shahabat. Abu Bakr, Umar bin Khattab, bagaimana kehidupan mereka? Toh juga miskin.
Oleh karena itu siap-siap kita untuk ini. Kalau kita benar-benar adalah orang-orang yang ingin bersama-sama Rasulullah, para shahabatnya di Surga, dikumpulkan dan dipertemukan dengan mereka, keluar dari berbagai macam fitnah keduniaan ini, contohilah mereka. Dan kalau mau mencontoh Rasulullah, siap-siap mirip dengan Rasulullah. Walaupun seperseratusnya misalnya.
Wallahi, Alhamdulillahi, kita ini masih nikmat. Kalau kita diberi ujian seperti ujiannya Rasulullah mungkin kita sudah jadi munafiqiin -Wal’iadzubillah-. Kalau kita diberi ujiannya para shahabat -Na’udzubillah- mungkin kita sudah keluar dari Islam. Mudah-mudahan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mudah-mudahan Allah selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya dan terus Istiqamah sampai bertemu dengan Allah. Dan mudah-mudahan kita diberi khusnul khatimah. Amiin
[Sumber: Transkip MP3 kajian berjudul "Memerangi dan Menundukkan Hawa Nafsu" Oleh Al Ustadz Luqman Ba'abduh, Kajian tanggal 9 mei 2003]
__________
Foote Note
[1] Karena keterbatasan waktu di sini hanya disebutkan 3 perkara saja. Adapun point yang ke-4, yakni tentang sabar, tidak sempat disebutkan. Namun sebenarnya hal tersebut telah terkandung dan dijelaskan pada penyebutan tiap-tiap point.
[2] Ada beberapa alasan yang bisa dibenarkan memang yakni karena kenyataan atau fenomena yang ada di Pondok Pesantren itu sendiri.