Pada saat ini, banyak kaum Muslim yang melakukan praktik-praktik kompromi, baik dalam lapangan politik dalam negeri, politik luar negeri dengan negara-negara asing, dan berbagai interaksi lainnya. Mereka akhirnya terperangkap dalam kesukaannya bersikap moderat (jalan tengah); seolah-olah sikap moderat itulah yang benar, yang paling selamat, dan yang paling diterima semua pihak. Apa sesungguhnya jalan tengah atau sikap moderat itu? Bagaimana sikap kita, kaum Muslim, terhadap penggunaan istilah tersebut?
Jawab:
Istilah jalan tengah (sikap moderat) tidak pernah muncul di tengah-tegah kaum Muslim, kecuali pada masa modern kini. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi kapitalismenya. Ideologi inilah yang telah membangun akidahnya di atas dasar jalan tengah. Jalan tengah itu sendiri merupakan kompromi yang lahir akibat pertarungan atau konfrontasi berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang Kristen sebagai agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan, sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu—karena Kristen dianggap sebagai penyebab kehinaan dan ketertinggalan—dan bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit di antara kedua belah pihak ini, keduanya menyepakati suatu jalan tengah, yaitu: mengakui eksistensi agama untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan; pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dari sini, mereka lantas menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) sebagai akidah bagi ideologi mereka, yakni kapitalisme. Di atas dasar ideologi yang bertumpu pada sekularisme inilah, mereka mampu meraih kebangkitan dan kemudian menyebarluaskan ideologinya kepada manusia lain melalui jalan penjajahan (imperialisme).
Prinsip jalan tengah atau sikap moderat—yang berbau kompromistik itu—yang menjadi landasan akidah mereka akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina, misalnya, kaum Muslim menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-negara Barat yang kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi jalan tengah—yang juga berbau kompromistik—pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina: satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini tampak jelas pula dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis seperti dalam masalah Kashmir , Cyprus , Bosnia , dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu pada kedustaan dan penghindaran diri dari masalah; tidak ditujukan untuk memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja, entah sedikit atau banyak. Artinya, prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak. Prinsip demikian ditempuh bukan karena benar, melainkan karena mempertimbangkan kondisi kekuatan dan kelemahan setiap pihak. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya jika memang mampu, sedangkan pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik serta membongkar kekeliruan atau kepalsuan ide jalan tengah, sebagian kaum Muslim malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide tersebut juga ada dalam ajaran Islam. Islam bahkan, menurut mereka, berdiri di atas prinsip jalan tengah. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme, di antara individualisme dan kolektivisme, di antara sikap “realistis” dan “idealis”, serta di antara kemapanan dan perubahan. Lebih jauh, Islam, kata mereka, tidak mengenal sikap berlebih-lebihan atau sikap lalai; tidak juga melampaui batas atau kurang dari batas; dan seterusnya.
Untuk membuktikan pendapatnya, mereka lalu melakukan pengkajian terhadap segala fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan. Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tidak aneh jika prinsip jalan tengah senantiasa tampak dalam setiap segi ajaran Islam. Walhasil, kata mereka, Islam adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, antara hukum dan akhlak, dan seterusnya.
Setelah melakukan analogi melalui jalan rasionalisasi terhadap hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syariat. Mereka lantas mengalahkan nash-nash syariat tersebut, dan kemudian menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka selanjutnya mengutip firman Allah Swt.:
Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian. (QS al-Baqarah [2]: 143).
Mengenai ayat tersebut, mereka menyatakan bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizhâm) umat yang bersifat tengah-tengah. Di dalamnya, tidak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi atau sikap meremehkan ala Nasrani. Mereka mengatakan bahwa kata wasath artinya adalah adil. Adil, menurut sangkaan mereka, adalah pertengahan antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian, mereka mengartikan adil dalam konteks “perdamaian” (shulh) demi mendukung prinsip jalan tengah.
Padahal, makna yang sahih untuk ayat itu adalah bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara itu, keadilan (‘adâlah) adalah termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Dengan kata lain, ayat di atas mengandung makna bahwa umat Islam kelak akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada Hari Kiamat) karena umat Islam telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun berbentuk kalimat berita (ikhbâr), ayat ini mengandung tuntutan (thalab) dari Allah Swt. kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam akan menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya dengan Rasulullah saw. yang kelak akan menjadi hujjah (saksi yang adil) atas umat Islam karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
…supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).
Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah saw. akan menjadi hujjah atas umat Islam pada Hari Kiamat nanti karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Rasulullah saw. juga telah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah saw. bersabda:
Perhatikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah Swt.:
(Hamba-hamba Allah yang baik adalah) orang-orang yang jika membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir; pembelanjaan itu berada di tengah-tengah yang demikian. (QS al-Furqan [25]: 67).
Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam kontek pembelanjaan harta (infak), ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (isyrâf) dan kikir (taqtîr, bakhil). Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infak, yaitu pertengahan (qawam). Sikap demikian, menurut pandangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfak.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah bahwa terdapat 3 (tiga) macam infa, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan.
Berlebih-lebihan (isyrâf, tabdzîr) adalah tindakan membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang haram, baik sedikit ataupun banyak. Jika seseorang membelanjakan harta satu dirham saja untuk membeli khamr, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka tindakan demikian termasuk tindakan berlebih-lebihan (isyrâf). Hukumnya adalah haram.
Kikir (taqtîr, bakhil) adalah mencegah diri untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib. Artinya, kalau, misalnya, seseorang tidak membayar satu dirham dari ketentuan zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir. Hukuknya juha adalah haram.
Sementara itu, infak yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan hukum-hukum syariat, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infak yang pertengahan. Hukumnya adalah halal. Sikap demikian didasarkan pada potongan firman Allah Swt.:
.…di antara yang demikian itu…. (QS al-Furqan [25]: 67).
Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infak, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu dari ketiga macam infak itu adalah perkara yang dituntut oleh syariat, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah tidak mengatakan bayna dzalikumâ (di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan di antara dua hal yang berbeda.
Atas dasar itu, dalam Islam, tidak ada yang namanya sikap kompromi atau jalan tengah. Sebab, Allah Swt.—Yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh manusia itu sendiri—adalah Zat satu-satunya Yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas yang tegas, tidak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau jalan tengah. Sebab, memang tidak ada kompromi atau jalan tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum Islam sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya. Karena itulah, Allah menamakannya dengan istilah hudûd (batas-batas) karena ketelitian dan kecermatan di dalam hukum-hukum-Nya. Allah Swt. berfirman:
Itulah hukum-hukum Allah; diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 230).
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya. (QS an-Nisa’ [4]: 14).
Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah saw. kepada pamannya, Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam? Yang ada pada saat itu justru ketegasan sikap Rasulullah saw. ketika beliau berkata, “Demi Allah, wahai Paman, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam), niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau aku hancur karenanya!”
Adakah pula sikap moderat atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada kabilah Banu ‘Amir ibn Sha’sha’ah ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau? Pada saat itu pun, secara tegas Rasulullah saw. menyatakan, “Perkara ini (kekuasaan) adalah milik Allah yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”
Walhasilh, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing dalam pandangan Islam. Ide semacam ini disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum Muslim. Mereka memasarkan ide tersebut kepada kaum Muslim atas nama keadilan dan toleransi. Tujuannya adalah untuk menyimpangkan kaum Muslim dari berbagai ketentuan dan hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya. []Sumber: HTI Online