Perbedaan Hikmah dan Ilmu

Sebelumnya menjelaskan perbedaan antara dua kalimat ini, perlu diketahui bersama bahwa hikmah dan ilmu terkadang disandarkan kepada Tuhan. Dimana terdapat sembilan puluh dua lafaz hakimdan seratus lima puluh enam redaksi alimdisebutkan dalam al-Qur’an sebagai sifat Allah Swt.
'Alîmdan hakîmdari sisi sifat dzat Allah Swt karena hikmah Ilahi adalah menciptakan seluruh maujud dengan seluruh perangkat penting, kuat dan kokoh serta jauh dari segala kesia-siaan. Dan penciptaan ini tidak akan terjadi tanpa ilmu nir-batas yang merupakan sifat dzat Allah Swt. Kendati hikmah juga terogolong sebagai sifat perbuatan karena dari sisi bahwa perbuatan tercirikan dengan sifat hikmah, kokoh dan benar. Serta jauh dari segala bentuk kebatilan.


Bagaimanapun, karena sifat dzati Allah Swt adalah dzat-Nya itu sendiri maka tidak terdapat perbedaan antara kedua sifat ini kecuali dengan sebutan. Karena hakîmdan 'alîmkeduanya menunjukkan pada pengetahuan Allah Swt. Namun “hikmah” biasanya menjelaskan sisi-sisi praktis. Dan ilmu ghalibnya mendeskripsikan dimensi-dimensi teoritisnya. Dengan kata lain, “ilm” mewartakan pengetahuan tak-terbatas Allah Swt. Sementara hikmah menceritakan ihwal perhitungan dan tujuan yang disasar pada penciptaan semesta, pewahyuan al-Qur’an.[19]
Terkadang kedua kalimat ini, disandarkan kepada mumkin al-wujudyang memiliki akal (manusia). Dimana hikmah dalam diri manusia adalah mengenal seluruh maujud dan melaksanakan segala perbuatan baik dan terpuji.[20]
Dengan kata lain, mengenal nilai-nilai dan parameter-parameter yan dengannya manusia dapat mengenal kebenaran dan kebatilan apa pun bentuknya adalah hikmah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang disebut oleh sebagian filosof sebagai “kesempurnaan kekuataan teoritis” (kamal quwwah nazhariyyah) [21]
Oleh karena itu, hakim adalah seseorang yang merupakan ahli makrifat dan memiliki pemahaman yang mendalam dan akal sehat. Dimana Imam Musa bin Ja’far bersabda kepada Hisyam bin Hakam, “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan akal.” [22]
Sebagai kesimpulannya, “hikmah” merupakan satu kondisi khusus dan tipologi pencerapan dan penentuan yang bersandar pada ilmu yang pada hakikatnya adalah milik Tuhan. Bahkan sebagaimana sabda Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa Allah Swt adalah ilmu itu sendiri dimana kebodohan tidak ada jalan di dalamnya.”[23]Ilmu adalah hakikat sebagaimana yang diterima oleh Luqman al-Hakim dari sisi Allah Swt. "Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, (dan Kami berkata kepadanya), “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Qs. Luqman [31]:12)
Sebagian filosof berpandangan bahwa berpandangan, menelaah dan berpikir tidak menciptakan ilmu dan pengetahuan, melainkan ia menyiapkan ruh manusia untuk menerima segala ma’qulat dan tatkala ruh manusia telah siap menerima, emanasi ilmu dari Allah Swt akan memancar kepada ruh manusia.[24]Kemudian pada tataran perbuatan terhasilkan kondisi dan tipologi pencerapan serta penentuan dalam diri manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia adalah sebab tersiapkannya ruh dalam menerima ilmu. Dan menerima ilmu ini merupakan pendahuluan dan sebab terciptanya kondisi spiritual dalam diri manusia untuk menentukan antara kebenaran dan kebatilan, dan mencerap pelbagai penghalang dan segala sesuatu yang merusak.

Poin Terakhir:
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa ilmu memiliki tingkatan dan derajat. Semenjak tingkatan tertinggi (Allah Swt) hingga manusia dan bahkan maujud-maujud lainnya yang tidak memiliki akal memiliki ilmu. Dan di antara seluruh maujud di alam semesta keberadaan seluruhnya ilmu dapat disandarkan kepada mereka sesuai dengan kandungan wujudnya. Berbeda dengan hikmah hanya yang merupakan tipologi dan sifat bagi mereka yang berakal. [indonesia.islamquest.net]
Catatan Kaki:
[1]Mufrâdât Raghib, klausul "hukm."
[2]Mu'jam Maqâiis al-Lugha, klausul "hukm."
[3]Rarasyi, Qamus Qur'ân, jil. 5, hal. 32, klausul "hukm."
[4]Mufrâdât Raghib, klausul  "ilm."
[5]Mu'jam Maqâiis al-Lugha, klausul "ilm."
[6]Majmâ' al-Bayan, jil. 2, hal. 151, Muassasah al-A'lami lil Mathbua'at, 1415.
[7]Ibid, hal. 298.
[8]Ibid, hal. 194. 
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid
[13]Allamah Thab-thabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 2, hal. 351.
[14]Abdullah Jawadi Amuli, Qur'ân dar Qur'ân, tafsir maudhu'i, jil. 1, hal. 297.
[15]Ibid.
[16]Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur, jil. 1, hal. 335.
[17]Lihat Qs. Al-Kahf [18]:5
[18]Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, ibid, jil. 17, hal. 609.
[19]Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 15, hal. 399.
[20]Mufrâdât Raghib, klausul hukm.
[21]Tafsir Nemuneh, ibid.
[22]Ibid.
[23]Syaikh Hurr al-Amili, al-Fushûl al-Muhimmah fii al-Ushûl al-Aimmah, jil. 1, hal. 288.