Dan Setelah yang Ke tiga tadi (Usman, Umar, Abu Bakar ) Maka yang terkahir adalah Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Berikut kilasan Biografi Sahabat Nabi yang berjuluk Gerbangnya Ilmu ini...
Bulan
Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina Ali kw, karena itu kita akan
mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan beliau.Sayyidina Ali adalah
sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib dab ayah Nabi SAW,
Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu. Seperti nama
istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah putri
Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul
Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina
Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum
Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW
sedang bepergian ke luar kota Makkah. Ibunya memberi nama Asad dan
Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi SAW pulang, beliau
merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan mengatakan bahwa ini
adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibn Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah,
sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika
masih kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi
Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya.
Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari
Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian
untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai
anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat
seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya
seperti Ali mencintai Nabi SAW.”
Ali
mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun.
Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua mereka, sering melempari
Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan
para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh
lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan
orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia
tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa
hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan
tidak seorang pun berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali
mendampinginya dan dia tidak akan pernah membiarkan Nabi pergi
sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan perjungannya
di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat
mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata: “Apa
yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan sifat
dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW
memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling
berilmu, paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih.
Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya
dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi
sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia
politikus teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran
serta keadilan, kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan
Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di
hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter begitu unggul dan
agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga banyak
ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai
manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang
mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu
ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak
tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya, mengatakan: “Jika
nama agung sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di
pengasingan, kawan seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat
karib Nabi dalam kehidupan dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati
tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan Al-Quran,jika penegasian ego diri
dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian dan cinta akan kebenaran,
kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita harus menganggap Ali
sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari berbagai
keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari
kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan
umum diantara para sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak
pernah menjadi non-Muslim dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala.
Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk Islam, tidak dan tidak akan
pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina
Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah
Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa hari sebelum berangkat
Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari
Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima (Muhsin)
mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab
kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah
peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama
putra-putri mereka adalah Hasan, Husain, Zainab (istri Abdullah ibn
Ja’far) dan Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah
hidup, Sayyidina Ali tidak menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia
menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang
wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama
Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa
diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan,
seperti Hasan, Husain (Pahlawan Karbala), Zainab (Pembela Islam di Kufah
dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain)
dan Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh
Talha
ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW
dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta
misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah
pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel
dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung
dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak
panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan
bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh
atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa
menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan
saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah
aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena
kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa
sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu
itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah
penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika mau mengangkat kepalanya,
sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang membuatnya luka parah.
Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh melarikan diri.
Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan Sayyidina Ali
yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina Ali
berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat
fatal dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya
digelandang ke hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu
kencang hingga menyayat dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan
berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama,
kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan
membuatnya kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai
hasil binaan langsung Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali
terbentuk persis seperti sifat-sifat Rasulullah SAW dalam semua
seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan
yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya.
Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila datang
waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar.
Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu.
Ali menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya, dan
kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah. Karena itu,
aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik
ataukah tidak.” Sulaiman ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id, seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah
SWT begitu agung dalam pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang
dilakukan merupakan ungkapan dari rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya.
Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan Allah melalui ucapannya
yang berbunyi, ”Ilahi, aku tidak menyembah-Mu lantaran takut
siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan pahala dari-Mu. Tetapi aku
menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu sebagai Dzat yang
semestinya disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi
Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’,
diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi
Thalib menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi
Thalib ? Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam
tasawuf, sahabat yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh
tasawuf di seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya. Pada Ali-lah ilmu
tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal tersebut
ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu
Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah
agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi
dan perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta
kemuliaannya.
Salam
atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para Wali, Salam atas Putra
Ka’bah, Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda Al-Hasan dan
Al-Husain, Salam atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Warahmatullahi Wabarakatuh.